PERANAN HORMON TUMBUH DALAM MEMACU PERTUMBUHAN ALGAE

I. PENDAHULUAN

Tumbuh-tumbuhan yang dikembangkan dibidang perikanan adalah dari golongan thallophyta (tumbuh-tumbuhan tingkat rendah) yaitu sub divisi algae, seperti fitoplankton dan rumput laut. Fitoplankton dimanfaatkan sebagai pakan alami bagi budidaya ikan dan udang. Menurut Burgess (1984), jenis pakan alami yang populer dan cocok untuk pakan ikan terutama udang pada stadia awal adalah jenis fitoplankton seperti Skelotonema costatum, Chaetocerus sp., tetraselmis sp. Hal ini disebabkan algae tersebut mempunyai ukuran yang kecil dan sesuai dengan bukaan mulut larva udang yang baru habis kuning telurnya.

Sedangkan rumput laut adalah komoditi andalan dibidang perikanan, karena merupakan bahan baku makanan, kosmetik, tekstil dan obat-obatan. Jenis rumput laut yang dibudidayakan seperti : Gracillaria sp., Eucheuma sp., Posidonia sp., Pterocladida sp. (Brotowidjoyo, dkk., 1995).

Pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan berlangsung secara terus menerus sepanjang daur hidupnya, tergantung pada tersediannya meristem, hasil asimilasi, hormon dan substansi pertumbuhan lainnya serta lingkungan yang mendukung (Gardner, dkk., 1991). Sehubungan dengan hal ini berbagai usaha telah dilakukan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan algae, baik metode budidaya, maupun penambahan berbagai substansi pertumbuhan. Salah satunya penggunaan hormon tumbuh untuk meningkatkan kepadatan populasi pakan alami maupun pertumbuhan rumput laut.

I. HORMON PEMACU PERTUMBUHAN

2.1. Hormon Tumbuh

Hormon berasal dari bahasa Yunani yaitu Hormoein yang berarti menggiatkan, atau suatu substansi yang disintesis pada suatu organ yang pada gilirannya merangsang terjadinya respons pada organ yang lain (Gardner, dkk., 1991). Sedangkan menurut Lingga (1986), hormon itu berarti pembawa atau pembangkit. Jadi hormon merupakan zat yang berfungsi sebagai pengatur yang dapat mempengaruhi jaringan-jaringan berbagai organ maupun sistem organ.

Hormon yang membantu pertumbuhan pada tanaman dikenal dengan fitohormon atau substansi pertumbuhan tanaman atau pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulators = PGRs) (Gardner, dkk., 1991). Fitohormon adalah senyawa organik bukan hara yang dihasilkan oleh tanaman yang dalam konsentrasi tertentu dapat mendukung atau menghambat pembelahan sel serta berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Abidin, 1986).

Konsep bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman diatur oleh suatu substansi yang dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit, dalam suatu organ yang menyebabkan suatu respon pada organ yang lain, pertama kali diajukan oleh Julius von Sachss, bapak Fisiologi Tumbuhan, pada pertengahan abad ke-19. Pengamatannya dikuatkan lagi oleh Charles Darwin pada tahun 1880 dalam eksperimennya tentang pengaruh cahaya dan gaya tarik bumi terhadap pertumbuhan tanaman, Darwin mengamati bahwa kecambah rumput kenari membengkok kearah sumber cahaya (fototropisme) kecuali bila pucuk kecambah tersebut dibungkus dengan kertas timah yang tidak tembus cahaya. Dia menyimpulkan bahwa rangsangan cahaya ditanggapi oleh bagian ujung batang (koleoptil), tepai responsnya terjadi pada jaringan yang lebih bawah atau lebih basal (Gardner, dkk., 1991).

2.2. Jenis Hormon Tumbuh

Hormon tumbuh terdiri dari tiga group senyawa, yaitu : auxin, giberilin dan sitokonin (Heddy, 1986). Selain itu diduga masih ada senyawa lainnya yang mempunyai aktivitas yang sama seperti kelompok senyawa di atas, tetapi dengan konsentrasi dan peranan yang kecil dalam fungsi fisiologis tumbuhan.

2.2.1. Auxin

Auxin merupakan salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel serta sintesa protein (Darnell, dkk., 1986).

Auxin diproduksi dalam jaringan meristimatik yang aktif (yaitu tunas , daun muda dan buah) (Gardner, dkk., 1991). Kemudian auxin menyebar luas dalam seluruh tubuh tanaman, penyebarluasannya dengan arah dari atas ke bawah hingga titik tumbuh akar, melalui jaringan pembuluh tapis (floom) atau jaringan parenkhim (Rismunandar, 1988).

Auxin atau dikenal juga dengan IAA = Asam Indolasetat (yaitu sebagai auxin utama pada tanaman), dibiosintesis dari asam amino prekursor triptopan, dengan hasil perantara sejumlah substansi yang secara alami mirip auxin (analog) tetapi mempunyai aktifitas lebih kecil dari IAA seperti IAN = Indolaseto nitril,TpyA = Asam Indolpiruvat dan IAAld = Indolasetatdehid. Proses biosintesis auxin dibantu oleh enzim IAA-oksidase (Gardner, dkk., 1991).

Auxin pertama kali diisolasi pada tahun 1928 dari biji-bijian dan tepung sari bunga yang tidak aktif, dari hasil isolasi didapatkan rumus kimia auxin (IAA = Asam Indolasetat) atau C10H9O2N. Setelah ditemukan rumus kimia auxin, maka terbuka jalan untuk menciptakan jenis auxin sintetis seperti Hidrazil atau 2, 4 - D (asam 2, 4 - Diklorofenolsiasetat), NAA (asam a-Nattalenasetat), Bonvel D (asam 3, 6 - Dikloro - O - anisat/dikambo), Amiben atau Kloramben (Asam 3 - amino 2, 5 – diklorobenzoat) dan Pikloram/Tordon (asam 4 – amino – 3, 5, 6 – trikloro – pikonat).

Auxin sintetis ini sudah digunakan secara luas dan komersil di bidang pertanian, dimana batang, pucuk dan akar tumbuh-tumbuhan memperlihatkan respon terhadap auxin, yaitu peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada konsentrasi yang optimal dan penurunan pertumbuhan terjadi pada konstrasi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.

2.2.2. Giberilin

Giberelin sering disingkat dengan GA merupakan diterpenoid yang menempatkannya dalam keluarga kimia yang sama dengan klorofil dan karotein. Bagian dasar kimia GA adalah kerangka giban dan kelompok karboksil bebas. Macam-macam bentuk GA dibedakan oleh penggantian kelompok hidroksil, metil atau etil pada kerangka giban dan karena adanya cincin laktona yang dihasilkan oleh kondensasi karbon 20 ke karbon 19 dalam struktur giban (Gardner, dkk., 1991). Dijelaskan lebih lanjut bahwa adanya cincin laktona seperti GA3, GA4 dan GA9 menyebabkan aktivitas biologis yang lebih besar dari pada analog serupa yang tidak memiliki cincin laktona seperti GA12 dan GA13.

Semua organ tanaman mengandung berbagai GA, dengan sumber terkaya sekaligus sebagai tempat biosintesisnya yaitu di dalam buah dan biji yang belum masak, tunas, daun dan akar (Rismunandar, 1988). Biosintesis GA melibatkan 3 metabolit kimia, yaitu asam mevalonat yang bertindak sebagai pelopor untuk pembentukan isoprena, yaitu bagian dasar dalam karbon-19 dan karbon 20 kerangka giban, kaurena terbentuk dari isoprena, GA terbentuk dari kaurena (Leopold dan Kriedemann, 1975 dalam Gardner, dkk., 1991).

GA diisolasi pada tahun 1926 oleh Karosawa dari jenis jamur Gibberella fujikuroi atau Fusarium heterosporum yang hidup sebagai parasit pada tanaman padi. Jamur ini dapat menyebabkan penyakit bakanae (penyakit kecambah tolol) pada padi, yaitu pertumbuhan batang berlebihan tetapi padi tidak mau berbuah. Dari hasil pengamatan tersebut ternyata jamur memproduksi suatu zat yang dapat meningkatkan pertumbuhan , akhirnya zat aktif tersebut diberi nama giberilen atau disingkat GA (Wilkins, 1989).

Sejak tahun 1950 orang sudah menaruh harapan besar terhadap GA terutama untuk meningkatkan produksi tanaman budidaya. GA sintetis yang biasanya tersedia secara komersial adalah GA3, GA7 dan GA13 (Heddy, 1986).

2.2.3. Sitokinin

Sitokinin sering juga dengan kinin, merupakan nama generik untuk substansi pertumbuhan yang khususnya merangsang pembelahan sel (sitokinesis) (Gardner, dkk., 1991). Selanjutnya dijelaskan kinin disintesis dalam akar muda, biji dan buah yang belum masak dan jaringan pemberi makan (misalnya endosperm cair). Buah jagung, pisang, apel, air kelapa muda dan santan kelapa yang belum tua merupakan sumber kinin yang kaya.

Kinin terbentuk dengan cara fiksasi suatu rantai beratom C – 5, ke suatu molekul adenin. Rantai beratom C – 5 dianggap berasal dari isoprena. Basa purin merupakan penyusun kimia yang umum pada kinin alami maupun kinin sintetik (Millers, 1955 dalam Wilkins, 1989). Biosintesis sitokinin dengan bahan dasar mevalonic acid.

Sebenarnya sudah sejak tahun 1892 ahli fisologi I. Wiesner, menyatakan bahwa aktivitas pembelahan sel membutuhkan zat yang spesifik dan adanya keseimbangan antara faktor-faktor endogenous. Secara pasti baru tahun 1955 sitokinin ditemukan oleh C.O. Miller, Falke Skoog, M.H. Von Slastea dan F.M. Strong dinyatakan sebagai isolasi zat yang disebut kinetin dari DNA yang diautoklap, sangat aktif sebagai promotor mitosis dan pembelahan sel kalus

(Moree, 1979). Selanjutnya dijelaskan bahwa kata sitokinin berasal dari pengertian cytokinesis yang berarti pembelahan sel. Sitokinin alami ditemukan oleh D.S. Lethan dan C.O. Miller tahun 1963 diisolasi dalam bentuk kristal dari biji jagung yang belum matang disebut zeatin. Sitokini alami terjadi dari derivat isopentenyl adenine.

Sitokinin sintetik yang paling umum dimanfaatkan di bidang pertanian seperti BA, kinetin dan PBA. Kinin menimbulkan kisaran respons yang luas, tetapi kinin bertindak secara sinergis dengan auxin dan juga hormon lain.

II. PERANAN HORMON TUMBUH DALAM MEMACU PERTUMBUHAN ALGAE

Aplikasi hormon tumbuh pada awalnya hanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman tingkat tinggi, namun setelah para peneliti mencoba mengaplikasikan pada algae baik untuk menumbuhkan pakan alami (fitoplankton) bagi penyediaan pakan larva udang maupun untuk pengembangan rumput laut, ternyata hormon tumbuh dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan algae.

3.1. Peranan Auxin

Fungsi auxin menurut Averi (1937) dalam Wilkins (1989), adalah menyebabkan terjadinya pembelahan sel pada lapisan kambium. Pada konsentrasi auxin optimum, sel-sel penyusun kambium aktif membelah dan terbentuk lapisan xylem yang cukup tinggi. Sedangkan menurut Gardner, dkk., (1991), efek seluler auxin meliputi : peningkatan dalam sintesis nukleotida DNA dan RNA, pada akhirnya peningkatan sintesis protein dan produksi enzim, peningkatan pertukaran proton, muatan membran dan pengambilan kalium, serta berpemgaruh terhadap reaksi fitokrom dengan cahaya merah dan cahaya merah jauh.

Menurut Heddy (1986), bahwa auxin mendorong pembelahan sel dengan cara mempengaruhi dinding sel. Lebih jelas diuraikan oleh Catala, dkk., (2000), bahwa adanya induksi auxin dapat mengaktivasi pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran plasma sehingga menyebabkan pH pada bagian dinding sel lebih rendah dari biasanya, yaitu mendekati pH pada membran plasma (sekitar pH 4,5 dari normal pH 7). Aktifnya pompa pronton tersebut dapat memutuskan ikan hidrogen diantara serat selulosa dinding sel. Putusnya ikatan hidrogen menyebabkan dinding mudah merenggang sehingga tekanan dinding sel akan menurun dan dengan demikian terjadilah pelenturan sel. PH rendah juga dapat mengaktivasi enzim tertentu pada dinding sel yang dapat mendegradasi bermacam-macam protein atau konstituin polisakarida yang menyebar pada dinding sel yang lunak dan lentur, sehingga pemanjangan dan pembesaran sel dapat terjadi.

Jenis auxin sintetis yang telah digunakan dibidang perikanan salah satunya adalah Hidrasil, yaitu digunakan sebagai zat perangsang tumbuh pada algae, ternyata bahwa hydrasil dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan algae.

Hasil penelitian Sri Djayawati (1993), tentang penggunaan hydrasil untuk memacu pertumbuhan rumput laut (Gracillaria verrucosa) dengan dosis 0 ppm (kontrol) , A = 5 ppm, B = 10 ppm dan C = 15 ppm dapat di lihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan rumput laut yang dirangsang dengan hormon tumbuh memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada tanpa hormon tumbuh. Dari keempat dosis yang dicobakan ternyata dosis 10 ppm memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Menurut Thiman (1956) dalam Wilkins (1989), efek karasteristik dari auxin adalah menyebabkan terjadinya pembesaran sel sehingga tanaman akan memanjang dan terjadilah pertumbuhan. Sebaliknya apabila konsentrasi yang diberikan lebih tinggi daripada konsentrasi optimum mendorong pertumbuhan, dapat mengganggu metabolisme dan perkembangan tumbuhan. Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi auxin yang tinggi, pembesaran sel berlangsung cepat sehingga ukuran sel menjadi sangat membesar. Keadaan ini akan menyebabkan reaksi turgor sel dalam sehingga permiabilitas terganggu dan sel akan mengalami kekeringan.

3.2. Peranan Giberelin

Giberelin bekerja secara sinergis dengan auxin, sitokinin dan mungkin beberapa zat lainnya (sinergisme) untuk mempengaruhi dormansi puncak, pertumbuhan kambium, geotropisme, absisi dan partenokarpi (akibat aktivitas auxin dan giberelin), efektif meningkatkan set buah, perangsangan pertumbuhan antar buku sehingga tumbuhan tidak kerdil, pembebasan a-amilase untuk hidrolisis tepung dan perkecambahan (Gardner, dkk., 1991). Giberilin bereaksi pada sel-sel yang mengelilingi endosperma yang menyebabkan pembentukan sejumlah enzim hidrolitik khusus (seperti amylase dan protease) yang mencerna zat pati dan protein endosperma dengam demikian membuat persediaan gula dan asam amino bagi sel yang bertumbuh (Kimball, 1983). Selanjutnya dijelaskan bahwa asam amino yang tersedia akibat aktivitas enzim protease merupakan precurson terbentuknya jenis hormon tumbuh yang lain, seperti triptopan yang merupakan bentuk awal dari auxin.

Menurut Kusumo (1989), bahwa giberelin berperan dalam pembelahan sel dan mendukung pembentukan RNA sehingga terjadi sintesa protein. Pembelahan sel distimulasi oleh aktifnya amylase menghidrolisis pati menjadi gula tereduksi sehingga konsentrasi gula meningkat akibatnya tekanan osmotik juga meningkat. Peningkatan tekanan osmotik di dalam sel menyebabkan air mudah masuk ke dalam sel, sehingga dapat mentriger segala proses fisiologis dalam sel tanaman.

Penggunaan giberilin dalam memacu pertumbuhan pakan alami telah dibuktikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Agusrianto (1995). Pakan alami yang diujicoba adalah jenis algae (diatom) yaitu Chaetoceros sp. Dosis giberilin yang digunakan adalah A= 0 ppm, B = 100 ppm, C = 125 ppm dan D = 150 ppm. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 2), bahwa pemberian giberilin dengan konsentrasi berbeda memberikan pertumbuhan dan puncak populasi yang berbeda pula, dengan puncak populasi tertinggi diberikan oleh dosis giberilin tertinggi dan tanpa pemberian giberilin dengan perkembangan populasi terendah. ). Menurut Gardner, dkk., (1991), respon positif tumbuhan terhadap GA terjadi dalam kisaran konsentrasi yang luas, berlawanan dengan respon terhadap auxin yang hanya dalam kisaran konsentrasi yang sempit, bahan kandungan GA yang tinggi tidak bersifat racun dan tidak menimbulkan respon negatif.

3.3. Peranan Sitokinin

Sitokinin sesuai dengan namanya yang berasal dari sitokinase adalah hormon tumbuh yang mempengaruhi pembelahan sel. Menurut Kimball (1983), sitokinin bila bereaksi bersama dengan auxin, dengan kuat merangsang mitosis dalam jaringan merestematik, ledakan sintesis RNA yang nyata terjadi bila sel-sel tumbuhan atau nukleus-nukleus yang terisolasi diberi perlakuan dengan sitokinin. Selanjutnya menurut Wereing dan Philips (1981), dalam proses metabolisme diduga sitokinin mempunyai peranan penting dalam sintesa protein, yaitu proses translasi.

Hasil penelitian Patiroi (1992), yang mengujicobakan air kelapa muda dengan konsentrasi yang berbeda untuk merangsang pertumbuhan algae. Jenis fitoplankton yang digunakan adalah Skeletonema costatum, dengan lima konsentrasi air kelapa yang dicobakan yaitu 0 % (kontrol) , A = 20 %, B = 40%, C = 60 % dan D = 80 %. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 3) dari kelima konsentrasi yang dicobakan ternyata dosis 40 % air kelapa muda memberikan kelimpahan Skeletonema costatum tertinggi, selanjutnya berturut-turut 60 %, 80 %, 20 % dan 0 % memperlihatkan penurunan kelimpahan dari Skeletonema costatum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian sitokinin bermanfaat dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Skeletonema costatum sampai pada dosis tertentu, dosis terlalu tinggi atau terlalu rendah justru tidak memberikan efek positif.


III. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari uraian dalam paper ini dapat disimpulkan bahwa hormon tumbuh (auxin, giberilin dan sitokinin), sebagai pemacu pertumbuhan pada tumbuhan tingkat tinggi dapat pula diaplikasikan pada bidang perikanan yaitu untuk memacu pertumbuhan algae. Hal yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal hormon tumbuh yang dapat diberikan, sehingga pertumbuhan dan perkembangan algae berada pada tingkat yang maksimal.

4.2. Saran

Setelah mempelajari dan menguraikannya dalam bentuk paper ini, hal dapat disaran bahwa perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai peranan hormon tumbuh dalam memacu pertumbuhan algae, yaitu dengan menganalisis parameter lain, misalnya aktivitas hormon tumbuh di dalam sel alga, aktivitas enzim hidrolitik, rasio DNA-RNA pada saat pemberian. Serta perlu juga penelitian dengan menggunakan jenis hormon tumbuh sintetis yang lain dan mengkombinasikannya untuk melihat efek yang lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, 1989. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Bandung.

Agusrianto, 1995. Pengaruh Giberilen Terhadap Laju Pertumbuhan Chaetoceros sp. Tesis. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Muslim Indonesia, Ujung Pandang.

Bargess, 1984. An Intrudaction to Plant. Cell Depelopment Cambridge University Press. Cambridge. London New York, New Sochelle, Malbourne, Sydney.

Brotowidjoyo, M.D. Djoko Tribawono, Eko Mulyantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.

Catala, C., Rose, J.K.C., Bennett, A.B., 2000. Auxin-Regulated Genes Encoding Cell Wall-Modifying Proteins are Expressed During Early Tomato Fruit Growth-Plant. Physiol 122 : 527 – 534.

Darnell, J., Lodish, H., Baltimore, H., 1986. Molecular Cell Biology. New York, Scientific American Books, Inc

Gardner, F.P., R. B. Pearce, Roger L. Mitchell., 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo dan Pendamping Subiyanto. Cetakan Pertama.Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Heddy, 1986. Hormon tumbuhan. Fakultas Pertanian , Universitas Brawijaya, Malang. Rajawali Jakarta.

.

Kimball, John W., 1983. Biologi. Jilid 2, edisi Kelima Alih Bahasa H. Siti Soetarmi Tjitrosomo dan Nawangsari Sugiri, Institut Pertanian Bogor. . Penerbit Erlangga, Jakarta

Kusumo, S. 1989. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna, Jakarta.

Lingga, 1986. Petunjuk Petunjuk Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta.

Moore, C.T., 1979. Bioshemistry and Physiology Plant Hormon, Springer – Verlag New York, Inc. New York

Patiroi, S., 1992. Pengaruh Penggunaan Air Kelapa Muda Terhadap Kelimpahan Skeletonema costatum. Tesis, Jurusan Perikan, Unhas, Ujung Pandang.

Rismunandar, 1988. Hormon Tumbuhan dan Ternak. Penebar Swadaya Jakarta.

Sri Djayawati, 1993. Pengaruh Penggunaan Air Kelapa Muda dan Hydrasil Terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verocosa). Tesis. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perinanan, Universitas Muslim Indonesia, Ujung Pandang.

Wilkins, M.B., 1989. Fisiologi Tanaman. Cetakan Kedua. Bina Aksara, Jakarta.

Wereang and Philips, 1981. Growth and Differentiation in Plant. J. Amer. Soc. Hort Sci. 108 (6) : 948 – 953.

PELUANG BUDIDAYA BELUT

Di restoran dan hotel bintang lima di Singapura, Hongkong dan Tokyo, belut merupakan hidangan istimewa. Biasanya petugas restoran atau hotel itu sampai perlu mengumumkan bahwa hari itu ada hidangan dari belut. Biasanya belut itu sudah disajikan dalam potongan sepanjang 5 cm. sementara diameternya 2,5 cm. Menu yang yang paling favorit adalah belut asap yang kemudian dimasak dengan berbagai bumbu dan kuah. Namun yang dimaksud oleh para petugas restoran sebagai belut itu, belum tentu benar-benar belut. Bahkan kemungkinan besar yang terhidang di meja restoran di Jepang itu sidat.
Di kawasan pantura Jawa, para nelayan juga biasa menjajakan belut asap masih dalam keadaan utuh maupun sudah berupa potongan. Masyarakat Jawa biasanya akan memasak belut ini dengan bumbu pedas. Mereka biasa menyebut bumbu semacam ini sebagai sambal goreng. Bumbunya antara lain cabai merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas, daun salam, garam, gula merah, asam jawa dan santan. Rasa belut asap berkuah pedas di pedesaan Jawa bagian utara ini juga sangat lezat. Kalau belut yang dijajakan di Pantura Jawa ini memang benar-benar belut, tetapi belut laut.
Belut, famili Synbranchidae, memang dibedakan dengan sidat, famili Anguillidae. Perbedaan utama belut dengan sidat adalah, belut sama sekali tidak memiliki sirip, hingga tubuhnya mirip ular. Sedangkan sidat memiliki sepasang sirip. Masyarakat pedesaan di Jawa menyebut sirip sidat ini sebagai "telinga". Belut juga hanya disebut sebagai belut, sementara sidat memiliki banyak nama. Antara lain pelus, moa, uling, paling dan lubang, dengan variasi jenisnya yang juga sangat beragam. Belut hanya dibedakan menjadi tiga, yakni belut sawah (Monopterus albus), belut rawa atau belut kirai (Ophysternon bengelense) dan belut laut (Macrotema aligans).
Dari tiga macam belut tadi yang layak untuk dibudidayakan secara komersial hanyalah belut sawah. Pengertian budidaya dalam hal ini bisa hanya berarti pembesaran dengan benih yang diambil dari alam, atau berikut breedingnya (pemijahannya). Meskipun pemijahan belut masih dilakukan secara alamiah. Beda dengan sidat yang sudah bisa dipijahkan secara buatan. Selama ini masyarakat masih mengandalkan penangkapan belut ini dari sawah. Sebenarnya yang mereka tangkap itu bukanlah belut yang sudah layak konsumsi, melainkan "anak belut". Sebab ukurannya yang masih berdiameter kurang dari 1 cm, sementara panjangnya baru sekitar 20 cm. Belut-belut ini biasa digoreng kering sebagai "keripik belut" yang dikemas dalam plastik dan dijajakan sebagai oleh-oleh.
Padahal, anak-anak belut ini bisa dibesarkan hingga mencapai diameter 2,5 cm. dan panjang 30 cm. dalam jangka waktu sekitar 2 bulan. Kolam pembesaran belut sebaiknya berupa bak semen, agar belut tidak lari. Beda dengan kolam ikan, maka kolam belut lebih banyak berisi lumpur daripada air. Hingga kolam sedalam 60 cm. misalnya, hanya berisi air setinggi 5 sd. 10 cm. Selebihnya berupa lumpur. Lumpur ini bisa berupa lumpur asli tempat kolam itu dibangun, didatangkan dari sawah atau dibuat dengan membusukkan berbagai bahan organik. Meskipun kebutuhannya tidak banyak, namun tetap diperlukan sirkulasi air dari sumber sungai atau saluran air lainnya. Kolam ini juga bisa diberi tanaman air seperti padi, kangkung, genjer dll. hingga kesannya lebih alamiah.
Belut adalah jenis ikan carnivora. Hingga upaya pembesarannya mutlak memerlukan bahan pakan berupa daging atau telur. Bisa daging ayam dan itik mati, telur yang tidak menetas, ikan yang busuk dll. Hingga pembesaran belut paling tepat kalau diintegrasikan dengan peternakan ayam, itik atau ternak lainnya. Apabila pembesaran belut ini tidak terintegrasi dengan kegiatan peternakan lainnya, mereka tetap bisa dicarikan limbah peternakan atau pemotongan hewan. Baik pemotongan unggas, ternak ruminansia atau pemrosesan ikan dan udang. Cara pemberian pakan ini juga sangat mudah. Cukup telur yang tidak menetas atau ayam mati tersebut dibenamkan ke dalam lumpur. Ayam atau unggas lainnya cukup dibenamkan begitu saja, namun telur perlu direbus terlebih dahulu, baru kemudian dipecah dan dibenamkan ke dalam lumpur. Kecuali telur yang sudah menjadi anak dan siap menetas namun mati. Telur demikian cukup dipecah dan dibenamkan ke dalam lumpur. Selain diberi pakan limbah peternakan, belut juga bisa dibesarkan dengan pakan cacing, bekicot, siput dll.
Pakan buatan seperti pelet atau pakan buatan lainnya masih belum bisa digunakan dalam usaha pembesaran belut. Beda dengan sidat yang di Jepang sudah dipelihara secara modern dengan pakan buatan. Namun yang disebut sebagai pakan biatan inipun berupa adonan yang kenyal dan liat hingga mirip daging. Adonan yang terdiri dari bahan-bahan nutrisi lengkap berupa karbohidrat, protein nabati, hewani dan vitamin serta mineral ini diramu dan diolah hingga menjadi seperti dodol yang kalau dimasukkan ke dalam air tidak hancur. Begitu adonan pakan itu dimasukkan ke kolam, maka sidat-sidat itu akan segera mengerubutinya hingga dalam waktu sekejap akan termakan habis. Pemandangan di kolam-kolam pemeliharaan sidat di Jepang ini mirip dengan pemandangan di sungai Amazone, Brasil, ketika ikan piranha mengerubuti sapi atau monyet yang tercebur ke dalam air.
Pola pemberian pakan sidat seperti yang dilakukan di Jepang ini, masih belum bisa diterapkan untuk pemeliharaan belut di Indonesia. Sebab belut sawah kita masih merupakan belut liar yang berkembangbiak di alam bebas. Sementara sidat di Jepang sudah merupakan ikan budidaya 100%. Termasuk sudah dilakukan pemijahan buatan seperti halnya ikan mas. Hingga belut sawah kita memang hanya bisa dipelihara dengan cara setengah diliarkan. Meskipun demikian, semakin baik kualitas protein hewani yang dikonsumsi belut, tingkat pertumbuhannya juga akan semakin cepat. Pakan berupa ayam mati (seluruh bagian), hasilnya akan bisa menumbuhkan belut lebih cepat dibanding dengan pakan berupa usus ayam. Namun pemberian pakan usus ayam, hasilnya masih lebih baik dibanding pakan berupa cincangan bekicot.
Benih belut untuk dibesarkan bisa diperoleh dengan sangat mudah dari hasil penangkapan di sawah-sawah. Para penangkap belut ini biasanya menyetorkan hasil tangkapan mereka ke perajin "keripik belut". Dengan memberikan harga sedikit lebih tinggi, para penangkap belut ini pasti bersedia mengalihkan pasokan mereka dari perajin keripik ke pemelihara belut. Namun apabila pasokan benih tersebut sulit, maka bisa diupayakan melakukan pembenihan sendiri. Yang dimaksud sebagai pembenihan belut, masih belum seperti pembenihan ikan mas yang bisa dilakukan secara buatan. Hingga dalam breeding belut ini, peternak hanyalah membuat kondisi kolam pemeliharaan, hingga menjadi mirip dengan kondisi sawah tempat belut tersebut berpijah secara alamiah.
Belut termasuk jenis ikan, hingga proses perkawinannya disebut dengan istilah berpijah. Perkawinan ikan disebut secara khusus karena berbeda dengan hewan lainnya. Sebagaimana jenis ikan lainnya, induk betina belut akan mengeluarkan telurnya dan kemudian dibuahi oleh induk jantan. Proses ini terjadi di sarang yang dibangun oleh induk jantan. Secara alamiah, pada musim penghujan belut jantan akan mencari lokasi yang dangkal dan membuat sarang (lubang), berbentuk melengkung dengan dua "pintu". Jarak antar dua pintu lubang ini sekitar 1 m. Dari dalam sarang, belut jantan membuat gelembung udara hingga tercipta busa di salah satu pintu lubang. Ini merupakan upaya untuk menarik perhatian induk betina. Sambil menunggu datangnya induk betina, induk jantan menunggu di pintu lubang yang tidak diberi busa.
Induk betina yang datang akan menaruh telur di bawah gelembung busa, yang segera dibuahi oleh induk jantan. Setelah itu, induk jantan akan memindahkan telur-telur itu dengan mencaplok, membawanya ke dasar lubang lalu menyimpannya di sana. Variasi jumlah telur yang dihasilkan belut betina berkisar antara puluhan (induk kecil) sampai ribuan (induk yang besar). Telur yang tersimpan di sarang itu akan terus dijaga oleh induk jantan, dan baru akan menetas selang 10 hari setelah dibuahi. Anak-anak belut itu akan tetap diasuh oleh induk jantan sampai siap disapih pada umur 15 hari. Di atas umur 15 hari, anak-anak belut itu akan menyebar untuk membuat lubang serta mencari mangsa sendiri.
Agar kolam breeding bisa menghasilkan anak belut, harus diciptakan agar permukaannya persis sama seperti kondisi persawahan di Indonesia. Di pinggir ada tebing/pematang, di tengah ada bagian yang digenangi air dan penuh dengan tanaman. Di bagian tertentu dari sawah tersebut ada bagian yang dangkal dan hanya sedikit digenangi air. Pada musim penghujan, belut akan membuat sarang untuk bertelur di bagian yang dangkal ini. Anak-anak belut yang telah disapih akan tampak mirip dengan cacing. Mereka inilah yang harus dikumpulkan untuk dipelihara di kolam pembesaran dengan pakan berupa protein hewani. Dengan protein hewani cukup, dalam jangka waktu hanya dua sampai tiga bulan di kolam pemeliharaan, anak-anak belut itu sudah bisa dipanen dan dipasarkan dengan diameter 2,5 cm. dan panjang 35 cm.
Belut masih merupakan jenis ikan yang eksklusif karena ketersediannya di pasar terbatas. Keterbatasan pasokan belut, disebabkan oleh budidayanya yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. Selama ini masyarakat lebih mengenal budidaya ikan mas, nila, gurami, lele dan patin (jambal siam). Sebab benih ikan-ikan tersebut sudah tersedia di mana-mana, teknologi budidayanya mudah dan pakannya berupa pelet juga tersedia. Namun dari segi keuntungan, membudidayakan belut bisa memperoleh marjin lebih baik. Caranya, peternak harus mencari langganan sumber limbah protein hewani. Bisa berupa ayam mati, telur yang tidak menetas, bekicot, cacing dll. Kalau limbah peternakan unggas sulit diperoleh, peternak bisa secara khusus mengkulturkan bekicot dan cacing untuk kebutuhan pakan.

PAKAN ALAMI DALAM BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR


Budidaya ikan air tawar sekarang telah menjadi sebuah kegiatan agribisnis yang tak terpisahkan dengan industri pakan ikan. Hingga ikan mas, lele, nila (mujair), bawal air tawar, patin (pangasius), gurami dan terakhir yang sedang trend adalah udang galah; semuanya sangat tergantung pada pakan buatan industri besar. Pakan ikan air tawar tersebut sebenarnya sama dengan pakan untuk unggas, yang di kalangan peternak/petani ikan dikenal dengan nama pelet. Kisaran harga pelet, saat ini antara Rp 2.000,- sd. Rp 3.000,- per kg. Komponen biaya pakan dalam budidaya ikan air tawar mencapai 70% dari seluruh komponen biaya. Hingga petani ikan yang ingin meningkatkan keuntungannya, pertama-tama harus melakukan penghematan pada komponen biaya pakan.
Cara penghematan pakan ikan, selama ini dilakukan oleh petani dengan berbagai cara. Gurami diberi pakan hijauan berupa daun keladi (sénţé). Sampai sekarang, pemilik empang di pedesan Jawa Barat dan Jawa Tengah, masih memanfaatkan tinja sebagai pakan tambahan bagi ikan mas piaraan mereka. Meskipun ikan dari empang demikian dengan WC umum demikian, volumenya sangat kecil hingga tidak pernah sempat masuk pasar. Para peternak lele dan patin, biasa meramu pakan sendiri dari dedak halus, ampas tahu, tepung tapioka, tepung jagung dan daging ayam mati dari peternakan. Bahan tersebut dicampur, diberi air, digiling, ditambah vitamin dan dikukus. Bahan-bahan lain seperti pupa (kepompong) ulat sutera, cacing, siput, bekicot dll. juga mereka manfaatkan untuk bahan pakan tambahan.
Para petani tambak bandeng, selama ini sudah terbiasa memanfaatkan plankton yang mereka sebut "klékap" sebagai bahan pakan alami bagi bandeng mereka. Proses penumbuhan plankton harus dilakukan dengan pengeringan kolam, empang atau tambak. Pengeringan biasanya dilakukan sekalian dengan pengerukan lumpur yang digunakan untuk memperkuat dan marapikan tebing serta pematang. Proses pengeringan ini bisa berlangsung antara 1 minggu sd. 1 bulan, tergantung intensitas sinar matahari. Fungsi pengeringan selain untuk proses penumbuhan plankton, juga agar hama dan bibit penyakit ikan mati. Terutama penyakit akibat bakteri dan virus. Sebab air yang tergenang terlalu lama, potensial untuk menumbuhkan plankton, sekaligus juga virus dan bakteri pengganggu ikan. Para petani tambak biasa menggunakan tembakau dan biji teh untuk membunuh bakteri, virus dan hama lain pengganggu tambak.
Selain pengerukan lumpur, kalau perlu juga dilakukan pencangkulan dan pembajakan dasar kolam. Setelah kolam benar-benar kering dan rapi, ditaburkan pupuk kandang dan urea. Dosisnya seperti kalau menanam padi. Misalnya pupuk kandangnya 5 ton per hektar dengan urea 1 sd. 2 kuintal. Untuk lebih meningkatkan kesuburan air kolam, bisa ditambahkan pula zat perangsang tumbuh (ZPT) seperti Atonik atau Dekamon. Setelah itu tambak digenangi air. Kalau tambak air payau, maka yang digenangkan air tawar (dari sungai) dicampur dengan air laut. Kalau kita akan memelihara ikan air tawar, maka air yang digenangankan hanya air tawar. Selanjutnya kolam atau tambak dibiarkan terkena sinar matahari sampai menjadi hijau. Proses ini bisa berlangsung dari satu minggu sampai satu bulan, tergantung dari intensitas sinar matahari dan tingkat kesuburan air.  
Kolam yang sudah hijau ini telah dipenuhi dengan ganggang (algae) yang oleh masyarakat luas sering disebut salah (salah kaprah) sebagai "lumut" . Ada banyak ragam algae, mulai dari ganggang biru (Cyanophyta), ganggang hijau (Chlorophyta), ganggang cokelat (Dinophyceae), ganggang kuning (Chrysophyceae), ganggang merah (Rhodophyceae) dan ganggang kersik (Diatomeae). Hingga sebenarnya, warna air yang subur, akan sangat tergantung dari jenis algae yang tumbuh di sana. Namun pada umumnya yang paling banyak tumbuh di kolam ikan adalah ganggang hijau. Selain ditumbuhi algae, kolam yang subur juga akan dihuni cacing, jentik nyamuk, larva capung, kumbang air, kepik, kutu air dll. Kumpulan algae dan macam-macam hewan renik (mikro) inilah yang di kalangan peternak ikan disebut sebagai plankton.
Kesuburan kolam demikian, akan tetap terjaga apabila aliran air tidak cukup deras. Apabila aliran air cukup deras, maka algae dan macam-macam hewan renik itu tidak akan mampu tumbuh dengan baik hingga membentuk koloni. Misalnya di kolam air deras. Bahkan pemeliharaan ikan di karamba, baik karamba sungai, danau, waduk maupun laut, juga sulit untuk memanfaatkan pakan alami berupa algae dan hewan renik. Sebab air dalam karamba merupakan satu kesatuan dengan seluruh volume air dalam kali, danau, waduk atau laut. Pemeliharaan ikan dalam karamba di danau Toba yang sangat luas itu pun, telah mengakibatkan ekosistem perairan alam menjadi rusak. Sebab jumlah karamba dan populasi ikan tidak pernah dihitung dengan baik, hingga memenuhi syarat maksimal daya dukung danau tersebut. Akibat banyaknya karamba di danau Toba, kotoran ikan serta pakan yang tidak termakan mengendap di dasar perairan, membusuk dan mencemari air danau.
Rekayasa air untuk memproduksi pakan alami dalam budidaya ikan, hanya bisa dilakukan pada kolam, empang atau tambak yang debit airnya bisa diatur. Debit yang konstan ini akan mengakibatkan pertumbuhan plankton menjadi optimal. Namun juga ada bahayanya apabila debit airnya sangat kecil. Pada siang hari algae, terutama ganggang hijau, akan memproduksi oksegen yang cukup banyak bagi kebutuhan seluruh ikan atau udang dalam tambak tersebut.  Tetapi pada malam hari fotosintesis terhenti. Padahal algae itu pada malam hari juga memerlukan oksigen meskipun dalam volume yang sangat kecil. Akibatnya pada malam hari kolam, empang atau tambak tersebut akan kekurangan oksigen. Lebih-lebih kalau padat penebarannya tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, para petambak dan petani ikan memanfaatkan kuncir air untuk meningkatkan ketersediaan oksigen. Selain dengan kincir air, untuk mengatasi kekurangan oksigen ini bisa dilakukan pula penambahan debit air apabila sumbernya memungkinkan. Apabila tidak mungkin, bisa dilakukan rotasi dengan menggunakan pompa serta filter.
Meskipun kita telah berhasil meningkatkan kesuburan air kolam secara optimal, namun pemeliharaan ikan dengan memanfaatkan pakan alami 100%, juga tidak akan ekonomis. Sama tidak ekonomisnya dengan apabila kita hanya mengandalkan pakan buatan 100%. Sebab apabila yang dipelihara ikan carnivora, seperti lele, gabus, patin dll, maka mereka akan kanibal. Hingga populasi ikan akan meyusut dengan sangat drastis. Contohnya adalah pemeliharaan belut di dalam bak atau drum yang diberi lumpur, batang pisang, pupuk kandang dll. hingga tingkat kesuburannya sangat tinggi. Ke dalam bak tersebut kemudian kita lepaskan 100 ekor anak belut, tanpa kita beri tambahan pakan apa pun. Setelah tiga bulan bak atau drum itu dibongkar, maka yang tersisa hanya sepasang belut jantan dan betina. Belut lain sudah saling makan hingga yang tinggal hanya dua ekor itu saja. Lain halnya kalau ke dalam bak atau drum belut itu tiap tiga hari sekali kita benamkan bangkai ayam, bebek atau telur-telur yang tidak menetas yang telah direbus terlebih dahulu. Dalam jangka waktu hanya dua bulan, 100 ekor anak belut itu sudah akan berubah menjadi belut dengan ukuran satu jari orang dewasa dan gemuk-gemuk.
Ke dalam kolam yang paling subur sekalipun, sebaiknya tetap perlu ditambahkan  pakan alami lain. Bagi ikan-ikan karnivora, perlu diberikan cacing, bekicot, bangkai ayam dll dalam volume yang sesuai dengan populasi ikan yang ditebar. Kalau yang dipelihara ikan-ikan herbivora, misalnya gurami, maka perlu ditambahkan daun-daunan dalam jumlah cukup. Pakan alami ini selain mampu meningkatkan keuntungan karena bisa mengurangi kebutuhan pakan pabrik, sekaligus juga akan meningkatkan kualitas daging ikan. Gurami yang hanya diberi pelet misalnya, kualitas dagingnya akan lembek dan kurang padat. Dengan dipelihara di kolam yang subur, dengan pakan tambahan berupa daun keladi, maka kualitas dagingnya akan makin padat. Kualitas daging ikan ini akan berpengaruh pada harga jual produk akhirnya berupa ikan konsumsi.
Pada pemeliharaan udang galah misalnya, tingkat kesuburan kolam akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan konversi pakan. Namun khusus dalam pemeliharaan udang galah, terutama dengan tingkat penebaran tinggi, penggunaan tali, misalnya tali rafia yang direntangkan di seluruh kolam, akan meningkatkan produksi. Sebab kebiasaan udang agak berbeda dengan ikan. Udang tidak biasa berenang melainkan merayap. Di alam, udang akan merayap pada tumbuhan air, akar tanaman dll. Tanpa adanya tanaman air, udang hanya akan merayap pada dasar kolam. Aktivitas udang dengan populasi padat di dasar kolam itu, akan mengakibatkan tingginya tingkat kanibalisme. Dengan adanya tali-tali yang terentang di kolam, maka tingkat kanibalisme bisa diturunkan. Dengan kolam yang kesuburannya optimal, maka hewan renik dan algae akan ikut mempercepat pertumbuhan udang. Selain pakan buatannya bisa dihemat, kualitas daging udangnya juga akan lebih baik.
Pada ikan-ikan karnovora, misalnya belut, pencegahan kanibalisme bisa dilakukan dengan menaruh buluh bambu atau potongan pipa PVC (pipa pralon) di sepanjang pinggir kolam. Ikan-ikan karnovora seperti belut, sidat, lele dan gabus akan senang bersembunyi di buluh bambu atau potongan pralon tersebut, hingga tingkat kanibalismenya akan turun. Kalau suplai cincangan cacing. bekicot atau bahan hewani lainnya cukup, maka kolam yang subur tersebut akan mampu mempercepat pertumbuhan ikan karnivora mencapai optimal. Kecuali lele dan patin, ikan karnivora seperti gabus, betutu, sidat dan belut agak sulit untuk mengkonsumsi pelet. Karenanya, kolam yang subur dengan suplai pakan tambahan berupa limbah pemotongan hewan menjadi mutlak diperlukan.

PAKAN IKAN
1. SEJARAH SINGKAT
Di Indonesia belum ada jenis-jenis usaha yang menghasilkan bibit pakan ikan alami dari hasil kultur murni. Bibit-bibit pakan ikan alami umumnya merupakan hasil percobaan di laboratorium yang sifatnya sekedar untuk memenuhi kebutuhan penelitian. Dalam bidang produksi pakan ikan alami, masih terdapat kesenjangan yang cukup tajam dalam hal ketersediaan teknologi dengan penggunanya, khususnya petani ikan. Bagi masyarakat awam tidak mudah untuk memproduksi pakan ikan alami, tetapi juga bukan merupakan pekerjaan yang sulit. Persoalannya terletak pada sarana dan prasarana yang tergolong cukup mahal untuk ukuran ekonomi pedesaan dan dalam pengoperasiannya memerlukan keahlian khusus.
2. SENTRA PERIKANAN
Selama ini produksi pakan ikan alami dilakukan oleh pengusaha pembenihan ikan/udang dalam satu unit pembenihan, atau oleh Balai Budidaya milik Pemerintah. Sementara ini sentra produksi pakan ikan buatan berada di Jawa.
3. JENIS
  1. Pakan Alami
    Jenis-jenis makanan alami yang dimakan ikan sangat beragam, tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Beberapa jenis pakan alami yang dibudidayakan adalah : (a) Chlorella; (b) Tetraselmis; (c) Dunaliella; (d) Diatomae; (e) Spirulina; (f) Brachionus; (g) Artemia; (h) Infusoria; (i) Kutu Air; (j) Jentik-jentik Nyamuk; (k) Cacing Tubifex/Cacing Rambut; dan (l) Ulat Hongkong
  2. Pakan Buatan
    Bentuk pakan buatan ditentukan oleh kebiasaan makan ikan.
    1. Larutan, digunakan sebagai pakan burayak ikan dan udang (berumur 2-30 hari). Larutan ada 2 macam, yaitu : (1) Emulsi, bahan yang terlarut menyatu dengan air pelarutnya; (2) Suspensi, bahan yang terlarut tidak menyatu dengan air pelarutnya.
    2. Tepung halus, digunakan sebagai pakan benih (berumur 20-40 hari). Tepung halus diperoleh dari remah yang dihancurkan.
    3. Tepung kasar, digunakan sebagai pakan benih gelondongan (berumur 40-80 hari). Tepung kasar juga diperoleh dari remah yang dihancurkan.
    4. Remah, digunakan sebagai pakan gelondongan besar/ikan tanggung (berumur 80-120 hari). Remah berasal dari pellet yang dihancurkan menjadi butiran kasar.
    5. Pellet, digunakan sebagai pakan ikan dewasa yang sudah mempunyai berat > 60-75 gram dan berumur > 120 hari.
    6. Waver, berasal dari emulsi yang dihamparkan di atas alas aluminium atau seng dan dkeringkan, kemudian diremas- remas.
4. MANFAAT
  1. Sebagai bahan pakan ikan, udang, atau hasil perikanan lainnya, baik dalam bentuk bibit maupun dewasa.
  2. Phytoplankton juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami pada budidaya zooplankton.
  3. Ulat Hongkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ikan hias, yang dapat mencermelangkan kulitnya.
  4. Pakan buatan dapat melengkapi keberadaan pakan alami, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas.
5. PERSYARATAN LOKASI
  1. Chlorella: salinitas 0-35 ppt dan yang optimal pada 10-20 ppt, kisaran suhu optimal 25-30°C dan maksimum pada 40 ° C.
  2. Tetraselmis: salinitas 15-36 ppt dan kisaran suhu 15-35 °C.
  3. Dunaliella: salinitas optimum 18-22 % NaCl, untuk produksi carotenoid > 27% NaCl, dan masih bertahan pada 31% NaCl; suhu optimal 20-40 ° C, pH optimal 9 dan bertahan pada pH 11.
  4. Diatomae: suhu optimal 21-28 ° C dan intensitas cahaya 1000 luks.
  5. Spirulina: pH optimal 7,2-9,5 dan maksimal 11; suhu optimal 25-35 ° C; tahan kadar garam tinggi, yaitu sampai dengan 85 gram /liter.
  6. Brachionus: suhu optimal untuk pertumbuhan dan reproduksi adalah 22-30 ° C; salinitas optimal 10-35 ppt, yang betina dapat tahan sampai 98 ppt; kisaran pH antara 5-10 dengan pH optimal 7,5-8.
  7. Artemia: kisaran suhu 25-30 ° C dan untuk Artemia kering -273-100 ° C; kadar garam optimal 30-50 ppt, untuk menghasilkan kista: 100 permil; kandungan O2 optimal adalah >3 mg/liter dengan kisaran 1 mg/liter sampai tingkat kejenuhannya 100 %; pH optimal adalah 7,5-8,5 dan kadar amonia yang baik < 80 mg/liter.
  8. Kutu Air: suhu optimal 22-31 ° C, dan pH optimal 6,6-7,4.
  9. Cacing Tubifex: cacing tubifex menyukai perairan yang berlumpur dan banyak mengandung bahan organik.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Bibit
  1. Tahapan dalam kultur Phytoplankton sebelum dibudidayakan :
    1. Koleksi
      Bertujuan untuk mendapatkan satu/beberapa jenis phytoplankton dari alam untuk dikultur secara murni. Koleksi diperoleh dari alam dengan menggunakan plankton net dan dijaga tetap hidup sampai di laboratorium.
    2. Isolasi
      Dapat dilakukan dengan cara:
      1. Metode Isolasi secara Biologis, dengan menggunakan pengaruh sifat phototaksis organisme yang akan diisolasi;
      2. Metode Isolasi Pengenceran Berseri, digunakan bila jumlah jenis organisme banyak dan ada spesies dominan, memindahkan sampel ke dalam beberapa tabung reaksi yang dikondisikan untuk pertumbuhan yang akan diisolasi;
      3. Metode Isolasi pengulangan Sub Kultur, hampir sama dengan Metode Isolasi Pengenceran Berseri, tapi jumlah dan jenis organisme yang terkumpul sedikit;
      4. Metode Isolasi Pipet Kapiler, dimana sampel 10-15 tetes diteteskan di tengah cawan petri, dan sekelilingnya ditetesi 6-8 tetes medium; dan
      5. Metode Isolasi Goresan, untuk mengisolasi phytoplankton tunggal dengan menggunakan media agar-agar.
  2. Infusoria
    1. Bibit diambil dari alam menggunakan pipet panjang dan berujung halus, selanjutnya diperiksa di mikroskop.
    2. Penangkaran bibit dapat menggunakan media air rebusan 70 gram jerami dalam air suling selama 15 menit. Setelah dingin, disaring dan diencerkan sampai volumenya 1,5 liter.
    3. Media yang dapat digunakan selain jerami adalah kacang panjang, kacang hijau, dan daun selada.
    4. Ambil 10 ml medium dan diencerkan dalam cawan petri yang ditutup kain sutra dan disimpan di tempat gelap pada suhu 28 ° C selama 1-2 minggu.
  3. Brachionus
    1. Bibit diambil dari alam.
    2. Air medium yang digunakan adalah air rebusan kotoran kuda/pupuk kandang lainnya, yaitu 800 ml kotoran kering dalam 1 liter air selama 1 jam. Setelah dingin, disaring dan diencerkan dengan air hujan yang telah direbus dengan perbandingan 1 : 2.
    3. Air medium dimasukkan dalam botol 1 galon dan ditulari bibit Protozoa dan ganggang renik sebagai makanan Brachionus selama 7 hari. 1-2 minggu kemudian Brachionus akan tumbuh.
    4. Cara lain adalah menularkan bibit ke dalam medium air hijau yang berisi phytoplankton.
  4. Kutu Air
    1. Bibit dapat diperoleh dari panti pembenihan udang/ikan, Balai Budidaya Air Tawar milik pemerintah.
    2. Penangkaran bibit dari alam dilakukan dengan cara memberi pupuk pada media dengan pupuk kandang 1-2 kali seminggu sebanyak 0,2 kg/m
  5. Artemia
    1. Bibit dapat berasal dari telur kering yang sudah dikalengkan. Dalam hal ini dapat berhubungan dengan Dinas Perikanan Daerah setempat, Direktorat Jendral Perikanan Jakarta, atau Balai Budidaya Air Payau Jepara (Jawa Tengah). Di Jakarta sudah ada badan usaha yang melayani kebutuhan telur Artemia, yaitu PT. Ulam Dedana, Jl. Hayam Wuruk no. 4-PX, telepon 352922-357563.
    2. Penetasan telur Artemia dilakukan di wadah bening dengan dasar berbentuk kerucut, dengan ukuran 3-75 liter. Wadah dapat dibuat sendiri dari kantong plastik 3-5 liter, yang dilapisi dengan kertas plastik kaca dan disetrika untuk melekatkannya.
    3. Air media diperoleh dari pengenceran air laut (30 permil) sampai kadar garamnya 5 permil dan ditambahi NaHCO3 2 gram/liter agar pH-nya 8-9.
    4. Atau air tiruan (kadar garam 5 permil) yang dapat dibuat dari beberapa bahan kimia, yaitu :
      • Garam dapur NaCl = 5 gram
      • Magnesium sulfat MgSO4 = 1,3 gram
      • Magnesium klorida MgCl2 = 1 gram
      • Kalsium klorida CaCl2 = 0,3 gram
      • Kalium klorida KCl = 0,2 gram
      • Natrium hidrokarbonat NaHCO3 = 2 gram
      • Air tawar = dijadikan 1 liter MgSO4, KCl, NAHCO3 dilarutkan dalam air panas secara terpisah sebelum digunakan.
    5. Telur-telur yang akan ditetaskan direndam dalam air tawar selama 1 jam, kemudian disaring dengan kain saringan 125 mikron, sambil disemprot air, dan ditiriskan.
    6. Kondisi yang mendukung penetasan telur, yaitu : suhu 25-30 ° C, kadar O2 > 2 mg/liter ,penyinaran dengan lampu neon dengan kekuatan cahaya 1000 luks (60 watt 2 buah sejauh 20 cm dari dinding wadah).
    7. Telur menetas menjadi nauplius setelah 24-36 jam, dan harus ditangkap paling lambat 24 jam sejak menetas. Anak Artemia disedot dengan slang plastik kecil dan ditampung dengan saringan 125 mikron, kemudian dicuci.
  6. Jentik-jentik Nyamuk
    1. Telur nyamuk dapat diperoleh dengan menggunakan wadah berdiameter 30 cm dan diisi air leri sedalam 10-30 cm dan diletakkan di tempat yang banyak nyamuknya. Wadah diberi atap setinggi 10 cm.
    2. 2-3 hari kemudian akan terbentuk selaput tipis di permukaan. Telur-telur yang dilepaskan induk akan saling menempel sampai panjangnya 0,5-1,5 cm.
    3. Telur diambil dengan lidi yang salah satu sisinya diratakan.
  7. Cacing Tubifex
    Bibit diambil dari perairan alam.
  8. Ulat Hongkong
    Bibit untuk pertama kali dapat diperoleh dari pedagang burung ocehan. Selanjutnya bibit dapat diambil dari tempat penangkaran sebelum berubah jadi kepompong.
6.2. Bahan-Bahan Untuk Pakan Buatan
  1. Bahan Hewani
    1. Tepung Ikan
      Bahan baku tepung ikan adalah jenis ikan rucah (tidak bernilai ekonomis) yang berkadar lemak rendah dan sisa-sisa hasil pengolahan. Ikan difermentasikan menjadi bekasem untuk meningkatkan bau khas yang dapat merangsang nafsu makan ikan. Lama penyimpanan < 11-12 bulan, bila lebih dapat ditumbuhi cendawan atau bakteri, serta dapat menurunkan kandungan lisin yang merupakan asam amino essensial yang paling essensial sampai 8%. Kandungan gizi: protein=22,65%; lemak=15,38%; Abu=26,65%; Serat=1,80%; Air=10,72%; Nilai ubah=1,5–3.
      Cara pembuatannya:
      1. Ikan direbus sampai masak, diwadahi karung, lalu diperas.
      2. Air perasan ditampung untuk dibuat petis/diambil minyaknya.
      3. Ampasnya dikeringkan dan digiling menjadi tepung.
    2. Tepung Rebon dan Benawa
      Rebon adalah sejenis udang kecil yang merupakan bahan baku pembuatan terasi. Benawa adalah anak kepiting laut. Rebon dan Benawa muncul pada awal musim hujan di sekitar muara sungai, mengerumuni benda yang terapung.
      Cara pembuatan:
      1. Bahan direbus sampai masak, diwadahi karung, lalu diperas;
      2. Ampasnya dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Kandungan gizi: Protein: Udang rebon=59,4% (udang rebon), 23,38% (benawa); Lemak =3,6% (Udang rebon), 25,33% (Benawa); Karbohidrat 3,2% (Udang rebon), 0,06% (benawa); Abu=11,41% (Benawa); Serat=11,82% (Benawa); Air=21,6% (Udang rebon); 5,43% Benawa ,Nilai ubah: Benawa=4–6
    3. Tepung Kepala Udang
      1. Bahan yang digunakan adalah kepala udang, limbah pada proses pengolahan udang untuk ekspor.
      2. Cara pembuatannya:
        1. Bahan direbus, dijemur sampai kering dan digiling;
        2. Tepung diayak untuk membuang bagian-bagian yang kasar dan banyak mengandung kitin.
      3. Kandungan gizinya: Protein= 53,74%; Lemak= 6,65%; Karbohidrat= 0%; Abu= 7,72%; Serat kasar= 14,61%; Air= 17,28%.
    4. Tepung Anak Ayam
      1. Bahan: anak ayam jantan dari perusahaan pembibitan ayam petelur.
      2. Cara pembuatan:
        • Anak-anak ayam dimatikan secara masal, bulu-bulunya dibakar dengan lampu semprot. Kemudian direbus sampai kaku (setengah masak).
        • Diangin-anginkan sampai kering dan digiling beberapa kali sampai halus. Hasil gilingan yang masih basah disebut pastadan dapat langsung digunakan.
        • Pasta dapat dikeringkan dan digiling menjadi tepung.
      3. Kandungan gizinya: Protein=61,65%, Lemak=27,30%, Abu=2,34%, Air=8,80%, Nilai ubah=5–8. Juga mengandung hormon, enzim, vitamin, dan mineral yang dapat merangsang nafsu makan dan pertumbuhan.
    5. Tepung Kepompong Ulat Sutra
      1. Bahan: kepompong ulat sutra yang merupakan limbah industri pemintalan benang sutra alam.
      2. Kandungan gizinya: Protein= 46,74%, Lemak= 29,75%, Abu= 4,86%, Serat= 8,89%, Air= 9,76%, Nilai ubah= 1,8.
    6. Ampas Minyak Hati Ikan
      1. Bahan: amapas hati ikan yang telah diperas minyaknya.
      2. Cara pembuatannya:
        1. digunakan sebagai pasta, karena kandungan lemaknya tinggi, sehingga sukar dikeringkan.
        2. Digiling halus sampai bentuknya seperti pellet.
      3. Kandungan gizinya: Protein= 25,08%, lemak= 56,75%, Abu= 6,60%, Air=12,06%, Nilai ubah= 8.
    7. Tepung Darah
      1. Bahan: darah, limbah dari rumah pemotongan ternak.
      2. Cara pembuatanny: darah beku yang masih mentah dimasak dan dikeringkan, kemudian digiling menjadi tepung.
      3. Kandungan gizinya: Protein= 71,45%, Lemak= 0,42%,Karbohidrat= 13,12%, Abu= 5,45%, Serat= 7,95%, Air= 5,19. Proteinnya sukar dicerna, sehingga penggunaannya untuk ikan < 3% dan untuk udang < 5%.
    8. Silase Ikan
      1. Bahan: ikan rucah dan limbah pengolahan.
      2. Silase adalah hasil olahan cair dari bahan baku asal ikan/limbahnya.
      3. Cara pembuatan:
        1. Bahan dicuci, dicincang kecil-kecil, kemudian digiling. Hasil gilingan direndam dalam larutan asam formiat 3% 24 jan, kemudian diperas.
        2. Air perasan ditampung dan lapisan minyak yang mengapung di lapisan atas disingkirkan.
        3. Cairan yang bebas minyak dicampur dengan ampas dan ditambah asam propionat 1%, untuk mencegah tumbuhnya bakteri / cendawan dan menambah daya awet ± 3 bulan dengan pH ± 4,5.
        4. Bahan diperam selama 4 hari dan diaduk 3- 4 kali sehari.
        5. Bahan cair yang bersifat asam dapat dicampur dengan dedak, ketela pohon/tepung jagung dengan perbandingan 1:1, dikeringkan dan digunakan untuk campuran dalam ramuan makanan.
      4. Kandungan gizinya: Protein=18-20%, Lemak=1-2%, Abu=4-6%, Air=70- 75%, Kapur=1-3%, Fosfor=0,3-0,9%.
    9. Arang Bulu Ayam dan Tepung Tulang
      1. Bahan: arang bulu ayam, tulang ternak.
      2. Cara pembuatan: Tulang dipotong sepanjang 5-10 cm, direbus selama 2-4 jam dengan suhu 100 ° C, kemudian dihancurkan hingga menjadi serpihan-serpihan sepanjang 1-3 cm. Serpihan tulang direndam dalam air kapur 10% selama 4-5 minggu dan dicuci dengan air tawar. Pemisahan selatin dengan jalan pemanasan 3 tahap, yaitu pada suhu 60 ° C selama 4 jam, suhu 70 ° C selama 4 jam, dan 100 ° C selama 5 jam. Pemrosesan selatin. Tulang dikeringkan pada suhu 100 ° C, sampai kadar airnya tinggal 5% dan digiling hingga menjadi tepung. Pengemasan dan penyimpanan.
      3. Kandungan gizinya: Protein=25,54%, Lemak=3,80%, Abu=61,60%, Serat=1,80%, Air=5,52%.
    10. Tepung Bekicot
      1. Bahan: daging bekicot mentah dan daging bekicot rebus.
      2. Cara pembuatan: Daging bekicot dikeringkan lalu digiling. Untuk campuran makanan sebesar 5-15%.
      3. Kandungan gizi: Protein=54,29%, Lemak=4,18%, Karbohidrat=30,45%, Abu=4,07%, Kapur=8,3%, Fosfor=20,3%, Air=7,01.
    11. Tepung Cacing Tanah
      1. Dapat menggantikan tepung ikan, dapat diternak secara masal.
      2. Jumlah penggunaan dalam ramuan 10-25%.
      3. Cara pembuatan: Cacing dikeringkan lalu digiling.
      4. Kandungan proteinnya 72% dan mudah diserap dinding usus.
    12. Tepung Artemia
      1. Dapat menggantikan tepung ikan/kepala udang.
      2. Kandungan protein (asam amino essensial) untuk burayak 42% dan dewasa 60%, sedangkan asam lemak tak jenuh untuk burayak 20% dan dewasa 10%. Daya cernanya tinggi.
    13. Telur Ayam dan Itik
      1. Bahan: telur mentah atau telur rbus.
      2. Penggunaan: Telur mentah langsung dikopyok dan dicampur dengan bahan lain. Telur rebus, diambil kuningnya, dihaluskan dan dilarutkan sampai membentuk emulsi atau suspensi.
      3. Kandungan gizinya: Protein=12,8%, Lemak=11,5%, Karbohidrat=0,7%, Air=74%.
    14. Susu
      1. Bahan: tepung susu tak berlemak (skim).
      2. Kandungan gizi: Protein=35,6% Lemak=1,0% Karbohidrat=52,0%, Air=3,5%
  2. Bahan Nabati
    1. Dedak
      Bahan dedak padi ada 2, yaitu dedak halus (katul) dan dedak kasar. Dedak yang paling baik adalah dedak halus yang didapat dari proses penyosohan beras, dengan kandungan gizi: Protein=11,35%, Lemak=12,15%, Karbohidrat=28,62%, Abu=10,5%, Serat kasar=24,46%, Air=10,15%, Nilai ubah= 8.
    2. Dedak Gandum
      Bahan: hasil samping perusahaan tepung terigu. Tepung yang paling baik untuk pakan ikan adalah “wheat pollard” dengan kandungan gizi: Protein=11,99%, Lemak=1,48%, Karbohidrat=64,75%, Abu=0,64%, Serat kasar=3,75%, Air=17,35%, Nilai ubah=2-3.
    3. Jagung
      Terdapat 2 jenis, yaitu: (1) Jagung kuning, mengandung protein dan energi tinggi, daya lekatnya rendah; (2) Jagung putih, mengandung protein dan enrgi rendah, daya lekatnya tinggi. Sukar dicerna ikan, sehingga jarang digunakan.
    4. Cantel/Sorgum
      Berwarna merah, putih, kecoklatan. Warna putih lebih banyak digunakan. Mempunyai zat tanin yang dapat menghambat pertumbuhan, sehingga harus ditambah metionin/penyosohan yang lebih baik. Kandungan gizi: Protein=13,0%, Lemak=2,05%, Karbohidrat=47,85%, Abu=12,6%, Serat kasar= 13,5%, Air=10,64%, Nilai ubah2-5.
    5. Tepung Terigu
      Berasal dari biji gandum, berfungsi sebagai bahan perekat dengan kandungan gizi: Protein=8,9%; Lemak=1,3%; Karbohidrat=77,3%; Abu=0,06%; Air=13,25%.
    6. Tepung Kedele
      Keuntungan: mengandung lisin asam amino essensial yang paling essensial dan aroma makanan lebih sedap, penggunaannya ± 10%. Kekurangan: mengandung zat yang dapat menghambat enzim tripsin, dapat dikendalikan dengan cara memasak. Kandungan gizi: Protein: 39,6%, Lemak=14,3%, Karbohidrat=29,5%, Abu=5,4%, Serat=2,8%, Air=8,4%, Nilai ubah=3-5.
    7. Tepung Ampas Tahu
      Kandungan gizinya: Protein=23,55%, Lemak=5,54%, Karbohidrat=26,92%, Abu=17,03%, Serat kasar=16,53%, Air=10,43%.
    8. Tepung Bungkil Kacang Tanah
      Bungkil kacang tanah adalah ampas pembuatan minyak kacang. Kelemahannya: dapat menyebabkan penyakit kurang vitamin, dengan gejala sirip tidak normal dan dapat dicegah dengan membatasi penggunaannya. Kandungan gizi: Protein=47,9%, Lemak=10,9%, Karbohidrat =25,0%, Abu=4,8%, Serat kasar=3,6%, Air=7,8%, Nilai ubah=2,7-4.
    9. Bungkil Kelapa
      Bungkil kelapa adalah ampas dari proses pembuatan minyak kelapa. Sebagai bahan ramuan dapat dipakai sampai 20%. Kandungan gizi: Protein=17,09%, Lemak=9,44%, Karbohidrat=23,77%, Abu=5,92%, Serat kasar=30,4%, Air=13,35%.
    10. Biji Kapuk/Randu
      Bahan: bungkil kapuk yang telah diambil minyaknya. Kelemahannya: Mengandung zat siklo-propenoid yang bersifat racun bius. Penggunaannya < 5%. Kandungan gizinya: Protein=27,4%, Lemak=5,6%, Karbohidrat=18,6%, Abu=7,3%, Serat kasa=25,3%, Air=6,1 %.
    11. Biji Kapas
      Bahan: bungkil dari pembuatan minyak. Kelemahannya: mengandung zat gosipol yang bersifat sebagai racun, yaitu merusak hati dan perdarahan/pembengkakan jaringan tubuh. Untuk penggunaannya harus dimasak dulu. Kandungan gizi: Protein=19,4%, Lemak=19,5%, Asam lemak linoleat=47,8%, Asam lemak palmitat=23,4%, Asam lemak oleat=22,9%.
    12. Tepung Daun Turi
      Kelemahannya: mengandung senyawa beracun : asam biru (HCN), lusein, dan alkoloid-alkoloid lainnya. Kandungan gizinya: Protein=27,54%, Lemak=4,73%, Karbohidrat=21,30%, Abu=20,45%, Serat kasar=14,01%, Air=11,97 %.
    13. Tepung Daun Lamtoro
      Kelemahannya: mengandung mimosin, dalam pemakaiannya < 5% saja. Kandungan gizinya: Protein=36,82%, Lemak=5,4%, Karbohidrat=16,08%, Abu=1,31%, Serat kasar=18,14%, Air=8,8%.
    14. Tepung Daun Ketela Pohon
      Kelemahannya: racun HCN/asam biru. Kandungan gizi: Protein=34,21%, Lemak=4,6%, Karbohidrat=14,69%, Air=0,12.
    15. Isi Perut Besar Hewan Memamah biak
      Bahan: dari rumah pemotongan ternak. Cara pembuatan: dikeringkan, digiling sampai menjadi tepung. Kandungan gizinya: Protein=8,39%, Lemak=5,54%, Karbohidrat=33,51%, Abu=17,32%, Serat kasar=20,34%, Air=14,9%, Nilai ubah=2.
  3. Bahan Tambahan
    1. Vitamin dan Mineral
      1. Cara memperoleh: dari toko penjual makanan ayam (poultry shop) yang sudah dikemas dalam bentuk premiks (premix).
      2. Premix tersebut mengandung vitamin, mineral, dan asam-asam amino tertentu.
      3. Contoh-contoh merek dagang:
        • Top mix: mengandung 12 macam vitamin (A, D, E, K, B kompleks), 2 asam amino essensial (metionin dan lisin) dan 6 mineral (Mn, Fe, J, Zn, Co dan Cu), serta antioksidan (BHT)
        • Rhodiamix: mengandung 12 macam vitamin (A, D, E, K, B kompleks), asam amino essensia metionin, dan 8 mineral (Mg, Fe, Mo, Ca, J, Zn, Co dan Cu), serta antioksidan.
        • Mineral B12: mengandung tepung tulang, CaCO3, FeSO4, MnSO4, KI, CuSO4, dan ZnCO3, serta vitamin B12 (sianokobalamin).
        • Merek lain: Aquamix, Rajamix U, Pfizer Premix A, Pfizer Premix B.
          Penggunaannya : Untuk ikan 1-2% dan untuk udang 10-15%.
    2. Garam Dapur (NaCl)
      1. Fungsi: sebagai bahan pelezat (gurih), mencegah terjadinya proses pencucian zat-zat lain yang terdapat dalam ramuan makanan ikan.
      2. Penggunaannya cukup 2%.
    3. Bahan Perekat
      1. Contoh bahan perekat: agar-agar, gelatin, tepung terigu, tepung sagu, dll. Yang paling baik adalah tepung kanji dan tapioka.
      2. Penggunaannya cukup 10%.
    4. Antioksidan
      1. Bahan: fenol, vitamin E, vitamin C, etoksikulin (1,2dihydro-6-etoksi-2,2,4 trimethyquinoline), BHT (butylated hydroxytoluena), dan BHA (butylated hydroxyanisole).
      2. Penggunaannya: etoksikulin 150 ppm, BHT dan BHA 200 ppm.
    5. Ragi dan Ampas Bir
      1. Ragi adalah sejenis cendawan yang dapat merubah karbohidrat menjadi alkohol dan CO2.
      2. Macam ragi: ragi tape, ragi roti, dan bir.
      3. Kandungan gizi: Protein=59,2%, Lemak=0, Karbohidrat=38,93%, Abu=4,95%, Serat kasar=0, Air=6,12%.
      4. Ampas bir merupakan limbah pengolahan bir.
      5. Kandungan gizinya: Protein=25,9%, Serat kasar=15%
      6. Penggunaannya: ampas bir basah 3-6% dan kering 10%.

    6.3. Penyiapan Peralatan

  4. Pakan Alami
    1. Chlorella
      1. Alat-alat yang akan digunakan dicuci dengan deterjen, kemudian dibilas dengan larutan klorin 150 ppm.
      2. Dalam wadah 1 galon:
        • Menggunakan stoples atau botol “carboys”, slang aerasi, dan batu aerasi.
        • Botol diisi medium ± 3 liter, untuk Chlorella air laut menggunakan medium dengan kadar garam 15 permil, dan untuk Chlorella menggunakan air tawar. Air medium disaring dengan kain saringan 15 mikron.
        • Disterilkan dengan cara mendidihkan, klorinasi, atau penyinaran dengan lampu ultraviolet.
        • Pemupukan dengan menggunakan ramuan Allen-Miguel, yang terdiri dari 2 larutan, yaitu:
          1. Larutan A, terdiri dari 20 gram KNO3 dalam 100 ml air suling;
          2. Larutan B, terdiri dari: 4 gram Na2HPO4.12H2O; 2 gram CaCl2.6H2O; 2 gram FeCl3; dan 2 ml HCl; semuanya dilarutkan dalam 80 ml air suling.
        • Setiap 1liter medium, menggunakan 2 ml larutan A dan 1 ml larutan B.
      3. Dalam wadah 60 liter atau 1 ton
        • Wadah dicuci dan dibebashamakan. Air untuk medium harus disaring. Medium dipupuk dengan jenis dan takaran: 100 mg/liter pupuk 21-0-0, Urea sebanyak 10-15 mg/liter dan pupuk 16-20-0 sebanyak 10-15 mg/l
        • Untuk pertumbuhan dalam wadah besar (1ton) cukup menggunakan urea dengan takaran 50 gram/m 3 .
    2. Tetraselmis
      1. Dalam wadah 1liter
        • Dapat menggunakan botol erlenmeyer. Botol, slang plastik, dan batu aerasi dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan larutan klorin 150 ml/ton.
        • Wadah diisi air medium dengan kadar garam 28 permil yang telah disaring dengan saringan 15 mikron. Kemudian disterilkan dengan cara direbus, diklorin 60 ppm dan dinetralkan dengan 20 ppm Na2S2O3, atau disinari lampu ultraviolet.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
          1. Natrium nitrat – NaNO3 = 84 mg/l
          2. Natrium dihidrofosfat-NaH2PO4 = 10 mg/l atau Natrium fosfat-Na3PO4 = 27,6 mg/l atau Kalsium fosfat-Ca3(PO4)2 = 11,2 mg/l
          3. Besi klorida – FeCl3 = 2,9 mg/l
          4. EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid) = 10 mg/l
          5. Tiamin-HCl (vitamin B1) = 9,2 mg/l
          6. Biotin = 1 mikrogram/l
          7. Vitamin B12 = 1mikrogram/l
          8. Tembaga sulfat kristal CuSO4.5H2O = 0,0196 mg/l
          9. Seng sulfat kristal ZnSO4.7H2O = 0,044 mg/l
          10. Natrium molibdat-NaMoO4.7H2O = 0,02 mg/l
          11. Mangan klorida kristal-MnCl2.4H2O = 0,0126 mg/l
          12. Kobalt korida kristal-CoCl2.6H2O = 3,6 mg/l
      2. Dalam wadah 1 galon (3 liter)
        • Dapat menggunakan botol “carboys” atau stoples.
        • Persiapan sama dengan dalam wadah 1 liter.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
          1. Urea-46 = 100 mg/l
          2. Kalium hidrofosfat-K2HPO4 = 10 mg/l
          3. Agrimin = 1 mg/l
          4. Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/l
          5. EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid) = 2 mg/l
          6. Vitamin B1 = 0,005 mg/l
          7. Vitamin B12 = 0,005 mg/l
      3. Dalam wadah 200 liter dan 1 ton
        • Wadah 200 liter dapat menggunakan akuarium, dan untuk 1 ton menggunakan bak dari kayu, bak semen, atau bak fiberglass.
        • Persiapan lain sama.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
          1. Urea-46 = 100 mg/liter
          2. Pupuk 16-20-0 = 5 mg/liter
          3. Kalium hidrofosfat-K2HPO4 = 5 mg/liter atau Kalium dihidrofosfat-K2H2PO4 = 5 mg/liter
          4. Agrimin = 1 mg/liter
          5. Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/liter
        • Untuk wadah 1 ton dapat hanya menggunakan urea 60-100 mg/liter dan TSP 20-50 mg/liter.
    3. Dunaliella
      Wadah dan peralatan lainnya dicuci, kemudian diisi medium dengan kadar garam 18-22 permil. Selanjutnya diberi pupuk cair 1 ml/liter, kemudian diaerasi dan dibiarkan sebentar.
    4. Diatomae
      1. Dalam wadah 1liter
        • Dapat menggunakan botol erlenmeyer. Botol, slang plastik, dan batu aerasi dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan larutan klorin 150 ml/ton.
        • Wadah diisi air medium yang telah disaring dengan saringan 15 mikron sampai 300-500 ml, dan berkadar garam 28-35 untuk Diatomae laut dan air tawar untuk Diatomae tawar. Kemudian disterilkan dengan cara direbus, diklorin, atau disinari lampu ultraviolet.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut:
          1. Larutan A= KNO3 20,2 gram + Air suling 100 ml
          2. Larutan B= Na2HPO4 2,0 gram + Air suling 100 ml
          3. Larutan C= Na2SiO3 1,0 gram + Air suling 100
          4. Larutan D= FeCl3) 1,0 gram + Air suling 20 ml
        • Setiap 1 liter medium diberi larutan A, B, C, sebanyak 1 ml dan larutan D 4 tetes. Kemudian diaerasi dengan batu aerasi dan sumber udara dapat berasal dari mesin blower, kompressor atau aerator.
        • Pupuk lain yang dapat ditambahkan:
          1. EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid)=10 mg/l
          2. Tiamin-HCl (vitamin B1) = 0,2 mg/l
          3. Biotin = 1,0 mg/l
          4. Vitamin B12 = 1,0 mg/l
          5. Tembaga sulfat kristal CuSO4.5H2O = 0,0196 mg/l
          6. Seng sulfat kristal ZnSO4.7H2O = 0,044 mg/l
          7. Natrium molibdat-NaMoO4.7H2O = 0,02 mg/l
          8. Mangan klorida kristal-MnCl2.4H2O = 0,0126 mg/l
          9. Kobalt korida kristal-CoCl2.6H2O = 3,6 mg/l
      2. Dalam wadah 1 galon (3 liter)
        • Wadah dicuci dan diisi air medium.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut:
          1. Urea = 100 mg/l
          2. Kalium hidrofosfat-K2HPO4 = 10 mg/l
          3. Na2SiO3 = 2 mg/l
          4. Agrimin = 1 mg/l
          5. Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/l
          6. EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid) = 2 mg/l
          7. Vitamin B1 = 0,005 mg/l
          8. Vitamin B12 = 0,005 mg/l
      3. Dalam wadah 200 liter dan 1 ton.
        • Wadah dicuci dan diisi air medium.
        • Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
          1. Urea-46 = 100 mg/l
          2. K2HPO4 atau KH2PO4 = 5 mg/l
          3. Na2SiO3 = 2 mg/l
          4. Agrimin = 1 mg/l
          5. Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/l
          6. 16-20-0 = 5 mg/l
    5. Spirulina
      Wadah dan peralatan lainnya dicuci, kemudian diisi medium dengan kadar garam 15-20 permil. Selanjutnya diberi pupuk cair 1 ml/l, kemudian diaerasi dan dibiarkan sebentar.
    6. Brachionus
      1. Dengan Pemupukan
        • Wadah yang digunakan berukuran 1-10 ton atau 10-100 ton yang telah dicuci dan dibilas dengan larutan klorin 150 ml/ton. Wadah diisi air melalui kain saringan halus.
        • Pemupukan menggunakan kotoran sapi kering 20 mg/l, pupuk urea dan TSP masing–masing 2 mg/l, kemudian didiamkan 4-5 hari, sampai tumbuh jasad-jasad renik makanan Brachionus, yaitu jenis Diatomae, seperti Cyclotella, Melosira, Asterionella, Nitzschia, dan Amphora. Tumbuhnya Diatomae ditandai dengan warna coklat perang.
      2. Dengan Pemberian Makanan
        • Wadah yang digunakan berukuran 1 ton, yang terbuat dari papan kayu yang dilapisi lembaran plastik, bahan semen, atau fiberglass, yang dicuci biasa. Wadah diisi air medium, tergantung jenis Brachionus. Wadah diletakkan di luar ruangan, di bawah atap bening.
        • Pemupukan menggunakan 100 mg/l urea, 20 mg/l TSP, dan 2 mg/l FeCl3, untuk menumbuhkan algae planktonik (Chlorella dan Tetraselmis). Medium diudarai untuk meratakan pupuk dan algae.
    7. Artemia
      1. Wadah yang digunakan adalah berbagai macam bak berbentuk empat persegi panjang dengan sudut tegak lurus, menyerong, atau melengkung. Ukurannya 300 liter, 2 ton, 5 ton, dsb.
      2. Di tengah bak dipasang penyekat terbuat dari papan/lembaran plastik dengan arah membujur sejajar dengan sisi bak yang panjang. Jarak antara ujung penyekat tengah dengan sisi bak yang pendek 2/3 kali jarak antara penyekat tengah dengan sisi bak yang panjang, dan jarak sisi bawah dengan dasar bak 2-5 cm.
      3. Dalam bak dipasang "air water lift (AWL)" yang terbuat dari pipa-pipa PVC untuk menimbulkan putaran.
        • Kedalaman 20 cm, diameter pipa AWL= 25 mm
        • Kedalaman 40 cm, diameter pipa AWL= 40 mm
        • Kedalaman 75 cm, diameter pipa AWL= 50 mm
        • Kedalaman 100 cm, diameter pipa AWL= 60 mm
      4. Pipa AWL dipotong miring 30-45 ° pada ujung bawahnya dan dipasang menyentuh dasar bak. Pipa AWL diikat pada kedua belah sisi penyekat tengah dan ujung -ujung bagian atasnya dibuat menyerong 30-45 °. Jarak antara AWL 25-40 cm dengan arah berlawanan.
      5. Slang plastik berdiameter 6 mm dimasukkan pada AWL untuk saluran udara, yang dihubungkan dengan tabung pembagi udara terbuat dari pipa PVC berdiameter 5 cm dan diikat pada atas penyekat tengah.
      6. Tabung dihubungkan dengan pipa udara yang mengalirkan udara dari mesin penghembus udara (Blower).
      7. Air untuk pemeliharaan adalah air laut (kadar garam 30-35 permil) atau air tiruan (kadar garam 30 permil) yang dapat dibuat dari beberapa bahan kimia, yaitu:
        • Garam dapur (NaCl) = 31,08 gram
        • Magnesium sifat (MgSO4) = 7,74 gram
        • Magnesium klorida (MgCl2) = 6,09 gram
        • Kalsium klorida (CaCl2) = 1,53 gram
        • Kalium klorida (KCl) = 0,97 gram
        • Natrium hidrokarbonat (NaHCO3) = 2 gram
        • Air tawar dijadikan 1 liter MgSO4, KCl, NaHCO3 dilarutkan dalam air panas secara terpisah sebelum digunakan.
      8. Penyaringan air dilakukan untuk mengurangi timbunan kotoran. Penyaringan air dilakukan dengan kotak keping penyaring berbentuk kotak persegi empat yang terbagi 2 bagian, yaitu bagian pertama untuk pemasukan air dan bagian kedua untuk pengendapan. Ukuran kotak 10% dari bak dan terbuat dari kayu yang dicat dengan epoxy. Alat ini dibersihkan 2 hari sekali.
    8. Infusoria
      1. Penangkaran dapat dilakukan secara berurutan dalam wadah 1 liter, 1 galon, 200 liter, dan 1 ton. Untuk wadah 1 liter dan 1 galon, menggunakan air rebusan jerami sebagi medium, dan untuk wadah yang lebih besar menggunakan air mentah.
      2. Air mentah dimasukkan dalam wadah 200 liter dan 1 ton (tergantung jenis Ciliatanya) dan ditambah potongan-potongan jerami atau rumput kering, daun selada, atau kulit pisang kering, kemudian air diaerasi.
    9. Kutu Air
      1. Wadah yang digunakan adalah berbagai macam bak dengan ukuran 1 ton (1 m 3 ). Bak diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung.
      2. Wadah diisi air tawar sampai 60 cm dan diudarai dengan batu 1-2 aerasi per 2,5 m 2 .
      3. Pemupukan menggunakan kotoran ayam kering yang dilarutkan dalam air samapi konsentrasinya 10% dan bungkil kelapa yang ditumbuk halus dan diayak dengan saringan 500 mikron.
      4. Pemupukan pertama menggunakan kotoran ayam 1000 ml/ton dan bubuk bungkil kelapa 200 gram/ton yang dicampur dan dimasukkan dalam kantong yang diperas di atas bak pemeliharaan, sehingga air perasan langsung jatuh ke bak.
      5. Pemupukan kedua dilakukan 4 hari kemudian, dan pemupukan ketiga dilakukan bila perlu.
    10. Jentik-jentik nyamuk
      1. Wadah penetasan yang juga merupakan wadah pemeliharaan dapat berupa pengaron, ember plastik, atau wadah bukan logam yang lainnya. Air medium menggunakan air leri atau air biasa.
      2. Setelah telur cukup, wadah dimasukkan dalam kandan yang diberi dinding kelambu.
    11. Cacing Tubifex
      1. Lahan dibuat dengan bentuk mirip kolam dengan luas 10x10 cm atau lebih, dilengkapi dengan saluran pemasukan dan pengeluaran air.
      2. Dasar kolam dibuat petakan-petakan (blok) lumpur, berjarak 20 cm, setinggi 10 cm dengan luas 1x2 m dan dasarnya dilapisi papan kayu atau dibentuk cetakan.
      3. Pemupukan menggunakan dedak halus (200-250 gram/m2) atau kotoran ayam yang telah dibersihkan dan dihaluskan sebanyak 300 gram/m ². Pupuk ditebar di lahan dan direndam air 5 cm selama 4 hari bila menggunakan dedak dan 3 hari bila menggunakan kotoran ayam.
    12. Ulat Hongkong
      1. Pemeliharaan skala kecil dapat menggunakan beberapa kotak kayu/tripleks berukuran 40x40x20 cm yang dilapisi selotip/isolasi pada bagian bibirnya, atau ember plastik, baki, atau waskom.
      2. Bagian atas tempat pemeliharaan dibiarkan terbuka untuk memudahkan panen. Kemudian wadah ditempatkan pada rak dan diletakkan dalam ruang gelap dan tidak kena sinar matahari.
      3. Medium pemeliharaan yang berupa campuran dedak halus dan ampas tahu kering atau tepung jagung yang dicampur tepung tulang dan tepung ikan yang telah disaring/diayak, ditebar pada dasar wadah setebal 2-3 cm.
Pakan Buatan
Alat-alat yang diperlukan :
  1. Alat Penggiling dan Pengayak
  2. Alat Penimbang dan Penakar
  3. Alat Pengaduk dan Pencampur
  4. Alat Pemasak
  5. Alat Pengering
  6. Alat Penyimpan